Minggu, 20 Maret 2016

Bukan Tentang Perjalanan, Tetapi Ini Soal MIMPI - Toraja 1

 
Foto By Dede farsjad
BEBERAPA kali mataku terusik oleh kilauan cahaya kendaraan, pedih dan menyakitkan ketika di tengah lelap, kemudian terbangun. Masih tidak percaya, afirmasi atau kekuatan pikiran yang kulakukan pada awal tahun 2016, hanya dalam hitungan jam akan terwujud. Namun, perjalanan panjang yang menghabiskan 8 jam, sebenarnya bukan sekedar untuk wisata. Tetapi, memberikan variasi impian kepada anak-anak di Toraja Utara.
**
SELEPAS magrib kesibukanku meningkat, mulai dari mencari baju yang ingin digunakan hingga memasukkan semua perlengkapan yang dibutuhkan. Mama, adik lelakiku dan si kecil Nei-nei juga terbawa kesibukan yang menyenangkan ini. Berpacu dengan waktu padatnya lalu lintas, saya dan karibku memilih lebih cepat berkemas dan berangkat menuju tempat berkumpul yang telah disepakati malam sebelumnya.
Bisa dipastikan, perjalananku kali ini menyenangkan. Saya mempertaruhkan waktu kerjaku di hari Senin, untuk mewujudkan mimpi lamaku tuk berkunjung ke tempat wisata budaya. Nama Toraja sudah mendunia sebelum diriku fasih membaca, namun sang pemilik waktu baru memberiku ijin setelah 32 tahun saya menunggu dengan sabar.
Ponsel cerdas membantu mencarikan kami jalan yang tidak padat malam ini, malam minggu di kota yang sedang giat-giatnya berkembang, pastilah akan dipenuhi oleh kendaraan yang ingin menikmati suasana kota. Apalagi, meski langit sedang sedikit muram oleh tebalnya awan kelabu di setiap sisinya.
Barang kuturunkan setelah yakin bahwa lokasi perwakilan bus yang akan kami tumpangi sudah tepat. Tampak dua orang yang kukenal sedang berdiri di depan ruko yang lebih terang dari ruko lainnya. Sejumlah bus berjejer rapi di halaman depan ruko yang sangat luas. Setelah berpamitan dengan Mama, saya ikut bergabung dengan dua teman yang sudah lebih dulu menunggu di dalam ruko.
Kami akan pergi berlima, tadinya akan ada enam orang yang ikut serta dalam perjalanan yang lumayan jauh ini. Lelah merupakan hal pertama yang terpikirkan, ketika membayangkan bahwa kami akan menghabiskan malam di atas bus yang berukuran besar itu.
Awalnya kupikir, kami akan memulai perjalanan jauh itu dari tempatku saat ini berdiri. Namun, ternyata khayalanku salah. Kami hanya akan naik ke dalam bus, melalui terminal resmi yang jaraknya masih lumayan jauh jika ditempuh berjalan kaki. Untungnya ada mobil kecil sebagai service tambahan bagi penumpang yang sudah membeli tiket di perwakilan. Kami pun berbaur dengan kepadatan pinggiran kota menuju terminal bus.
Terminal tampak gelap dan sunyi, mungkin karena bukan masa liburan anak sekolah. Namun, beberapa ruko yang berjualan makanan tetap terbuka. Kami memutuskan untuk menyantap makan malam di kios pertama yang kami lihat, setelah turun dari mobil. Pangsit menjadi menu yang dipilih, selain mengenyangkan pangsit dapat membantu tubuh menjadi hangat.
***
UDARA semakin dingin, kutarik jaket yang sedari tadi kudekap. Ku coba membuka mataku secara perlahan, pemandangan di luar bus antar provinsi yang saya tumpangi terlihat membiru. Itu pertanda, bahwa matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya di ufuk timur. Kabut putih juga masih enggan meninggalkan peraduannya, jejak semu yang indah masih bisa terlihat di atas pepohonan.
Rumah adat Tana Toraja menyambutku dengan penuh keanggunan, dikala sebagian besar penumpang masih terlelap. Senyumku mengembang, kucondongkan tubuhku mendekat ke arah kaca, hingga pipiku menyentuh dan merasakan dingin yang menusuk tulang. Mataku seakan tak percaya, anganku saja masih mencoba menggapai realita, bahwa sekarang tubuhku sudah berada di Tana Toraja yang jaraknya kurang lebih 330 km dari kota Makassar.
Perjalanan sejauh ini, kuputuskan hanya dalam hitungan jam dan tanpa berpikir dua kali. Padahal, selepas Papa meninggal, berat rasanya pergi jauh dari rumah. Berpisah dengan mama merupakan pilihan berat, namun kujamin bahwa perjalanan yang kulakukan saat ini, tidak sebatas masalah wisata, tetapi perjalanan kali ini saya membawa serta mimpiku yang ingin kutularkan pada anak-anak di Toraja Utara.
Beberapa kali bus harus berhenti dan menurunkan penumpang, udara segar Tana Toraja berburu masuk ke dalam bus ketika pintu di samping kiri supir di buka. Dingin, segar bercampur dengan gonggongan anjing. Yaaa… Tana Toraja juga terkenal dengan daerah sejuta anjing, hal itu langsung kusimpulkan ketika bus melintasi rumah penduduk yang letaknya sangat dekat dengan jalan. Dimana-mana dan sejauh mata memandang, anjing merupakan hewan satu-satunya dan dalam jumlah lumayan banyak. Namun, bukan masalah anjing yang akan saya bahas dalam perjalanan kali ini, tetapi betapa indah dan menyenangkan melakukan perjalanan yang mengikutkan mimpiku didalamnya.
****
KAMI turun di perempatan jalan yang entah dimana, satu yang pasti kutahu bahwa tujuan kami selanjutnya adalah rumah kerabat salah satu teman yang berada di daerah Sangalla. Jaraknya sekitar 24 km dari tempat kami berdiri. Menunggu menjadi hal yang mulai akrab kami lakukan semenjak berada di Tana Toraja, untungnya lokasi kami menunggu menjajakan pisang goreng panas. Dan, tentu saja ada anjing si pemilik warung. Toraja tak berwarna tanpa hadirnya makhluk berbulu itu.
Rumah adat Tana Toraja kini terpampang jelas dan dekat dihadapan kami. Padahal, sebenarnya kantuk sedari tadi menggodaku tuk terlena, tapi alam yang eksotik serta udara yang menyegarkan paru-paru, seakan mampu membuat setiap sel dalam tubuhku melakukan regenerasi secara maksimal.
Ternyata rumah adat yang sedari tadi hanya berlalu seiring jalannya mobil, ada di halaman rumah, tempat kami beristirahat.
“Woooowww, Allah menjawab doaku tak tanggung-tanggung,” Batinku bergemuruh sambil tak henti ikut berpose mengabadikan gambar diri. Kami tetap percaya diri, meski jilbab letaknya sudah tak karuan dan wajah masih sembab karena belum dibasuh air.
Kami tak berlama-lama di rumah tersebut. Kami memutuskan untuk mandi di tempat wisata permandian air panas yang konon katanya bisa mengobati rematik dan pegal-pegal. Lokasinya cukup dekat, permandian tersebut diberi nama Makula. Di tempat itu, sudah ada 3 orang teman baru yang menunggu. Teman yang juga memiliki tujuan yang sama berada di Toraja Utara.
Setiap pengunjung yang ingin berendam air panas, harus menyisihkan 10 ribu rupiah. Kolam yang airnya berwarna hijau yang berada di bagian atas itulah, terdapat pancuran air yang mengalirkan air panas dari sumbernya langsung. Sayangnya, pengalaman tak mengenakkan dengan air di bangku SMA, membuatku hanya terdiam di salah satu sudut kolam tanpa berani mendekat ke sumber air panasnya. Namun, air dipinggir kolam pun masih terasa hangat.
Saya memutuskan untuk naik terlebih dahulu, mencoba membiarkan mataku berkeliaran memandang hamparan sawah yang terpampang di salah satu sisi kolam air panas. Hijau, sejuk dan mengajak paru-paruku ingin diisi lebih banyak dengan oksigen bersih. Kami tak menghabiskan waktu lama di tempat ini, karena siang nanti merupakan awal perjalanan kami sesungguhnya berada di Tana Toraja.
*****
PERJALANAN menuju lokasi berkumpul tepatnya di lapangan Bakti, di tengah kota Rantepao yang ternyata cukup jauh. Kami memutuskan untuk berhenti di salah satu lokasi wisata alam lainnya bernama Londa. Sebuah kompleks pemakaman leluhur masyarakat Toraja yang terletak di sebuah tebing.
Kawasan wisata ini terletak di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi, kira-kira 7 km jika Anda berangkat dari kota Rantepao. Akses jalan yang baik, memudahkan kami sampai ke lokasi wisata Londa. Setiap pelancong akan membayar 10 ribu rupiah, jika ingin memasuki kawasan perkuburan. Bagi yang memutuskan menunggu di luar saja, Anda bebas dari biaya karcis masuk. Menunggu tak selamanya membosankan, apalagi jika berada di kawasan wisata Tana Toraja. Selalu terdapat sejumlah kios penjual souvenir khas daerah tersebut.
Saya memutuskan untuk ikut rombongan teman-teman yang masuk dalam kawasan makam leluhur tersebut, meski sekujur tubuhku sedari tadi sudah mengenali tanda-tanda gaib. Namun, mencoba mempercayai sugesti yang diberikan seorang teman melalui ceritanya di bus ketika berangkat.
“Toraja itu, tempat destinasi makam tapi tidak menyeramkan,” Kata teman meyakinkan.
Nyatanya, Suasana mencekam ketika melewati gerbang batu berwarna hitam berbalut lumut tipis. Setiap orang sebenanya sudah dijemput sejumlah wanita berpakaian adat yang berjejer di sepanjang tangga turun. Dan entah berapa banyak lagi yang mengenakan baju yang sama. Diriku hanya mampu turun hingga tangga paling bawah, tapi tak melanjutkan langkah menuju goa yang terdapat patung-patung para leluhur.
Saya memutuskan kembali ke parkiran mobil, sambil menunggu dan melihat sejumlah pelancong asing dan domestik yang baru saja memasuki kawasan wisata Londa. Paru-paruku seakan kosong dan kering di tempat ini.
******
SERATUS lebih orang yang berkumpul di lapagan Bakti. Orang-orang dari berbagai daerah dan memiliki tujuan yang sama tentunya. Kami akan membagi cerita tentang apa yang kami kerjakan pada anak-anak Toraja Utara di 13 Sekolah Dasar. Menyenangkan, melihat masih banyak anak muda yang tidak hanya mengeluh tentang sistem pendidikan, tetapi mereka hadir lebih dekat untuk memberikan kontribusi nyata, meski dengan cara sederhana yakni berbagi kisah dan pengalaman mereka di bidang masing-masing.
Lokasi sekolah yang kudapat merupakan lokasi kedua terjauh, harus ditempuh selama 1 jam lebih menggunakan truk. Medan yang terjal dan menegangkan cukup membuat bajuku basah oleh keringat ketakutan.
Rantebua, nama daerah yang menjadi tempat timku bertugas. SDN 5 Rantebua menjadi sekolah kami besok untuk bersenang-senang membangun sebuah mimpi baru bagi anak-anak negeri.
Perjalanan kali ini, memang bukan hanya sebatas jauh yang membentang jarak. Tetapi, perjalanan ini tentang membawa mimpi, mimpi yang besar untuk menopang Indonesia 10 hingga 15 tahun depan. Kami hadir untuk memberi warna pada mimpi mereka yang biasanya seragam, karena kami tahu bahwa semua yang kami raih saat ini, dulunya juga hanyalah mimpi.