Rabu, 20 April 2016

Hidup Itu Harus Memilih

MENCOBA mencari tujuan hidup, mungkin saja dilakukan oleh sebagian orang yang mulai bosan memikirkan masa depan. Menarik paksa impian ke masa kini, tak semudah yang dibayangkan. Saya termasuk salah satu orang yang mencari tujuan hidup di usia 28 tahun. Memang tidak bisa digolongkan muda untuk ukuran wanita di negeri ini, dimana rata-rata para wanitanya mengakhiri masa lajangnya jauh dibawah usiaku.
Semakin dikejar, terkadang impian justru menjauh dan seakan menghilang. Satu hal yang harus kulakukan hanyalah terus melangkah, meski ibukota membujukku tuk kembali mengejar asa yang tertinggal beberapa tahun sebelumnya. Jejak langkahku terhenti pada sebuah persimpangan yang terjal. Pilihannya hanya satu yakni memberanikan diri menjadi bagian sebuah kelompok anak muda berjiwa pejuang.
**
JAKARTA kembali memanggilku setelah kutinggalkan 5 tahun silam. Namun, kedatanganku kali ini bukan untuk menetap ataupun mencoba peruntungan baru. Ibukota hanya kujadikan batu loncatan, untuk mengambil bagian dari sebuah gerakan yang nantinya diharapkan membawa perubahan hidup di pulau terdepan negeri ini.
Bertemu orang-orang baru yang memiliki visi hidup yang sama, pastinya menyenangkan. Berguna untuk negera menjadi salah satu pikiran gila saat kuputuskan mengambil cuti dan mengikuti tes lanjutan “Pencerah Nusantara.” Namun sayang, cita-cita itu harus kandas dan mengembalikan rutinitas yang sempat kutinggalkan beberapa hari.
Menjalani keseharian yang sama selama bertahun-tahun, mampu menyelipkan rasa jenuh dan frustasi. Bisa dibayangkan hidup yang dipenuhi rasa hampa, semuanya hambar. Mengambil bagian  dalam sebuah program menginspirasi menjadi pintu gerbang bagi saya untuk menemukan tujuan hidup yang selama ini tertunda.
***
TAK sengaja membuka laman facebook seorang pendamping pada program kelas inspirasi, membantu saya bertemu dengan orang-orang muda berpikiran gila dan sedikit nyentrik. Mereka bukan hanya memiliki impian mulia, tetapi mereka mewujudkan semua hal tak terpikirkan dengan satu cara, just do it.
Nur Al Marwah Asrul alias Nunu, orang yang kali pertama kuhubungi untuk bisa bergabung ke dalam kelompok orang-orang yang jauh dari pikiran negatif. Anak muda yang tidak pernah memprovokasi orang lain untuk membenci negara ini. Justru dari mereka saya menjadi yakin bahwa Indonesia masih bisa diselamatkan dari keterpurukannya. Melalui langkah kecil yang mereka lakukan, saya yakni apapun bisa terjadi. Ini lantaran, mereka terus melakukan gerakan meski sedikit tertatih. Diam menjadi virus mematikan yang harus dihilangkan dari pikiran dan visi mereka.

SIGI region Makassar bukan hanya wadah anak muda kreatif tanpa batas, tetapi menjadi tempat untuk kembali bagi jiwa-jiwa yang mulai tersesat dan ingin merasakan kebebasan melalui senyum-senyum anak bangsa. Saya memilih bergabung, tanpa paksaan dan intervensi siapa pun, karena saya percaya bahwa hidup hanyalah masalah memilih sedangkan waktu menjadi juri yang bijak dari setiap pilihan yang diambil.

Minggu, 20 Maret 2016

Bukan Tentang Perjalanan, Tetapi Ini Soal MIMPI - Toraja 1

 
Foto By Dede farsjad
BEBERAPA kali mataku terusik oleh kilauan cahaya kendaraan, pedih dan menyakitkan ketika di tengah lelap, kemudian terbangun. Masih tidak percaya, afirmasi atau kekuatan pikiran yang kulakukan pada awal tahun 2016, hanya dalam hitungan jam akan terwujud. Namun, perjalanan panjang yang menghabiskan 8 jam, sebenarnya bukan sekedar untuk wisata. Tetapi, memberikan variasi impian kepada anak-anak di Toraja Utara.
**
SELEPAS magrib kesibukanku meningkat, mulai dari mencari baju yang ingin digunakan hingga memasukkan semua perlengkapan yang dibutuhkan. Mama, adik lelakiku dan si kecil Nei-nei juga terbawa kesibukan yang menyenangkan ini. Berpacu dengan waktu padatnya lalu lintas, saya dan karibku memilih lebih cepat berkemas dan berangkat menuju tempat berkumpul yang telah disepakati malam sebelumnya.
Bisa dipastikan, perjalananku kali ini menyenangkan. Saya mempertaruhkan waktu kerjaku di hari Senin, untuk mewujudkan mimpi lamaku tuk berkunjung ke tempat wisata budaya. Nama Toraja sudah mendunia sebelum diriku fasih membaca, namun sang pemilik waktu baru memberiku ijin setelah 32 tahun saya menunggu dengan sabar.
Ponsel cerdas membantu mencarikan kami jalan yang tidak padat malam ini, malam minggu di kota yang sedang giat-giatnya berkembang, pastilah akan dipenuhi oleh kendaraan yang ingin menikmati suasana kota. Apalagi, meski langit sedang sedikit muram oleh tebalnya awan kelabu di setiap sisinya.
Barang kuturunkan setelah yakin bahwa lokasi perwakilan bus yang akan kami tumpangi sudah tepat. Tampak dua orang yang kukenal sedang berdiri di depan ruko yang lebih terang dari ruko lainnya. Sejumlah bus berjejer rapi di halaman depan ruko yang sangat luas. Setelah berpamitan dengan Mama, saya ikut bergabung dengan dua teman yang sudah lebih dulu menunggu di dalam ruko.
Kami akan pergi berlima, tadinya akan ada enam orang yang ikut serta dalam perjalanan yang lumayan jauh ini. Lelah merupakan hal pertama yang terpikirkan, ketika membayangkan bahwa kami akan menghabiskan malam di atas bus yang berukuran besar itu.
Awalnya kupikir, kami akan memulai perjalanan jauh itu dari tempatku saat ini berdiri. Namun, ternyata khayalanku salah. Kami hanya akan naik ke dalam bus, melalui terminal resmi yang jaraknya masih lumayan jauh jika ditempuh berjalan kaki. Untungnya ada mobil kecil sebagai service tambahan bagi penumpang yang sudah membeli tiket di perwakilan. Kami pun berbaur dengan kepadatan pinggiran kota menuju terminal bus.
Terminal tampak gelap dan sunyi, mungkin karena bukan masa liburan anak sekolah. Namun, beberapa ruko yang berjualan makanan tetap terbuka. Kami memutuskan untuk menyantap makan malam di kios pertama yang kami lihat, setelah turun dari mobil. Pangsit menjadi menu yang dipilih, selain mengenyangkan pangsit dapat membantu tubuh menjadi hangat.
***
UDARA semakin dingin, kutarik jaket yang sedari tadi kudekap. Ku coba membuka mataku secara perlahan, pemandangan di luar bus antar provinsi yang saya tumpangi terlihat membiru. Itu pertanda, bahwa matahari masih malu-malu menampakkan wujudnya di ufuk timur. Kabut putih juga masih enggan meninggalkan peraduannya, jejak semu yang indah masih bisa terlihat di atas pepohonan.
Rumah adat Tana Toraja menyambutku dengan penuh keanggunan, dikala sebagian besar penumpang masih terlelap. Senyumku mengembang, kucondongkan tubuhku mendekat ke arah kaca, hingga pipiku menyentuh dan merasakan dingin yang menusuk tulang. Mataku seakan tak percaya, anganku saja masih mencoba menggapai realita, bahwa sekarang tubuhku sudah berada di Tana Toraja yang jaraknya kurang lebih 330 km dari kota Makassar.
Perjalanan sejauh ini, kuputuskan hanya dalam hitungan jam dan tanpa berpikir dua kali. Padahal, selepas Papa meninggal, berat rasanya pergi jauh dari rumah. Berpisah dengan mama merupakan pilihan berat, namun kujamin bahwa perjalanan yang kulakukan saat ini, tidak sebatas masalah wisata, tetapi perjalanan kali ini saya membawa serta mimpiku yang ingin kutularkan pada anak-anak di Toraja Utara.
Beberapa kali bus harus berhenti dan menurunkan penumpang, udara segar Tana Toraja berburu masuk ke dalam bus ketika pintu di samping kiri supir di buka. Dingin, segar bercampur dengan gonggongan anjing. Yaaa… Tana Toraja juga terkenal dengan daerah sejuta anjing, hal itu langsung kusimpulkan ketika bus melintasi rumah penduduk yang letaknya sangat dekat dengan jalan. Dimana-mana dan sejauh mata memandang, anjing merupakan hewan satu-satunya dan dalam jumlah lumayan banyak. Namun, bukan masalah anjing yang akan saya bahas dalam perjalanan kali ini, tetapi betapa indah dan menyenangkan melakukan perjalanan yang mengikutkan mimpiku didalamnya.
****
KAMI turun di perempatan jalan yang entah dimana, satu yang pasti kutahu bahwa tujuan kami selanjutnya adalah rumah kerabat salah satu teman yang berada di daerah Sangalla. Jaraknya sekitar 24 km dari tempat kami berdiri. Menunggu menjadi hal yang mulai akrab kami lakukan semenjak berada di Tana Toraja, untungnya lokasi kami menunggu menjajakan pisang goreng panas. Dan, tentu saja ada anjing si pemilik warung. Toraja tak berwarna tanpa hadirnya makhluk berbulu itu.
Rumah adat Tana Toraja kini terpampang jelas dan dekat dihadapan kami. Padahal, sebenarnya kantuk sedari tadi menggodaku tuk terlena, tapi alam yang eksotik serta udara yang menyegarkan paru-paru, seakan mampu membuat setiap sel dalam tubuhku melakukan regenerasi secara maksimal.
Ternyata rumah adat yang sedari tadi hanya berlalu seiring jalannya mobil, ada di halaman rumah, tempat kami beristirahat.
“Woooowww, Allah menjawab doaku tak tanggung-tanggung,” Batinku bergemuruh sambil tak henti ikut berpose mengabadikan gambar diri. Kami tetap percaya diri, meski jilbab letaknya sudah tak karuan dan wajah masih sembab karena belum dibasuh air.
Kami tak berlama-lama di rumah tersebut. Kami memutuskan untuk mandi di tempat wisata permandian air panas yang konon katanya bisa mengobati rematik dan pegal-pegal. Lokasinya cukup dekat, permandian tersebut diberi nama Makula. Di tempat itu, sudah ada 3 orang teman baru yang menunggu. Teman yang juga memiliki tujuan yang sama berada di Toraja Utara.
Setiap pengunjung yang ingin berendam air panas, harus menyisihkan 10 ribu rupiah. Kolam yang airnya berwarna hijau yang berada di bagian atas itulah, terdapat pancuran air yang mengalirkan air panas dari sumbernya langsung. Sayangnya, pengalaman tak mengenakkan dengan air di bangku SMA, membuatku hanya terdiam di salah satu sudut kolam tanpa berani mendekat ke sumber air panasnya. Namun, air dipinggir kolam pun masih terasa hangat.
Saya memutuskan untuk naik terlebih dahulu, mencoba membiarkan mataku berkeliaran memandang hamparan sawah yang terpampang di salah satu sisi kolam air panas. Hijau, sejuk dan mengajak paru-paruku ingin diisi lebih banyak dengan oksigen bersih. Kami tak menghabiskan waktu lama di tempat ini, karena siang nanti merupakan awal perjalanan kami sesungguhnya berada di Tana Toraja.
*****
PERJALANAN menuju lokasi berkumpul tepatnya di lapangan Bakti, di tengah kota Rantepao yang ternyata cukup jauh. Kami memutuskan untuk berhenti di salah satu lokasi wisata alam lainnya bernama Londa. Sebuah kompleks pemakaman leluhur masyarakat Toraja yang terletak di sebuah tebing.
Kawasan wisata ini terletak di Desa Sandan Uai, Kecamatan Sanggalangi, kira-kira 7 km jika Anda berangkat dari kota Rantepao. Akses jalan yang baik, memudahkan kami sampai ke lokasi wisata Londa. Setiap pelancong akan membayar 10 ribu rupiah, jika ingin memasuki kawasan perkuburan. Bagi yang memutuskan menunggu di luar saja, Anda bebas dari biaya karcis masuk. Menunggu tak selamanya membosankan, apalagi jika berada di kawasan wisata Tana Toraja. Selalu terdapat sejumlah kios penjual souvenir khas daerah tersebut.
Saya memutuskan untuk ikut rombongan teman-teman yang masuk dalam kawasan makam leluhur tersebut, meski sekujur tubuhku sedari tadi sudah mengenali tanda-tanda gaib. Namun, mencoba mempercayai sugesti yang diberikan seorang teman melalui ceritanya di bus ketika berangkat.
“Toraja itu, tempat destinasi makam tapi tidak menyeramkan,” Kata teman meyakinkan.
Nyatanya, Suasana mencekam ketika melewati gerbang batu berwarna hitam berbalut lumut tipis. Setiap orang sebenanya sudah dijemput sejumlah wanita berpakaian adat yang berjejer di sepanjang tangga turun. Dan entah berapa banyak lagi yang mengenakan baju yang sama. Diriku hanya mampu turun hingga tangga paling bawah, tapi tak melanjutkan langkah menuju goa yang terdapat patung-patung para leluhur.
Saya memutuskan kembali ke parkiran mobil, sambil menunggu dan melihat sejumlah pelancong asing dan domestik yang baru saja memasuki kawasan wisata Londa. Paru-paruku seakan kosong dan kering di tempat ini.
******
SERATUS lebih orang yang berkumpul di lapagan Bakti. Orang-orang dari berbagai daerah dan memiliki tujuan yang sama tentunya. Kami akan membagi cerita tentang apa yang kami kerjakan pada anak-anak Toraja Utara di 13 Sekolah Dasar. Menyenangkan, melihat masih banyak anak muda yang tidak hanya mengeluh tentang sistem pendidikan, tetapi mereka hadir lebih dekat untuk memberikan kontribusi nyata, meski dengan cara sederhana yakni berbagi kisah dan pengalaman mereka di bidang masing-masing.
Lokasi sekolah yang kudapat merupakan lokasi kedua terjauh, harus ditempuh selama 1 jam lebih menggunakan truk. Medan yang terjal dan menegangkan cukup membuat bajuku basah oleh keringat ketakutan.
Rantebua, nama daerah yang menjadi tempat timku bertugas. SDN 5 Rantebua menjadi sekolah kami besok untuk bersenang-senang membangun sebuah mimpi baru bagi anak-anak negeri.
Perjalanan kali ini, memang bukan hanya sebatas jauh yang membentang jarak. Tetapi, perjalanan ini tentang membawa mimpi, mimpi yang besar untuk menopang Indonesia 10 hingga 15 tahun depan. Kami hadir untuk memberi warna pada mimpi mereka yang biasanya seragam, karena kami tahu bahwa semua yang kami raih saat ini, dulunya juga hanyalah mimpi.

Jumat, 29 Januari 2016

Benang Merah Masa Lalu dan Sekarang

MENEMUKAN diri kita sudah jauh berbeda dari beberapa tahun yang lalu, jelas membuat siapa saja akan berdecak kagum atas semua takdir yang telah diberikan. Pun demikian denganku, pagi ini terasa indah dan tak biasa, tidak genap satu dekade, perubahan seperti yang kuinginkan sedikit demi sedikit terwujud dengan cara terbaik yang diberikan Allah.
Meski terkadang, semua usaha harus dibalut dengan air mata. Bukan ingin terkesan melankolis, tetapi semua yang kudapatkan justru ketika lelaki terkasih keluarga kami sudah tidak ada. Padahal, ingin rasanya melihat senyum dan keceriaan wajahnya dengan semua pencapaian yang telah kuraih saat ini.

**
TIDAK pernah terpikirkan bahwa keinginanku mengejar ketertinggalan di dunia menulis delapan tahun lalu, sudah menampakkan hasil yang cukup mengagumkan, apalagi bagiku yang terbilang baru dan bukan siapa-siapa. Tak pernah berhenti hati ini mengucapkan syukur atas semua yang telah kulalui, meskipun tak sedikit nafas harus dihembuskan dengan diiringi nyeri, bukan karena sakit paru-paru, tetapi semuanya tidak mudah untuk didapatkan.
Pagi ini, ku buka mataku dengan sedikit terkejut, bukan karena ada yang membangunkan, justru, sebaliknya. Kudapati tubuhku masih enggan tuk beranjak, padahal matahari sudah cukup memancarkan sinarnya. Ini menandakan bahwa jam dinding telah memasuki pukul 06:00 Waktu Indonesia Tengah. Semua organ tubuhku seketika bergerak tanpa harus dikomando, bergegas memasuki kamar mandi dan mengambil wudhu.
Shalat subuh yang telat memang kadang-kadang membuatku menjadi sedikit tergesa, pasalnya tidak inginlah seharian diriku hanya menyesali keteledoranku bangun telat. Tak bersimpuh di pagi hari, itu sama saja tak menginginkan rejeki terbaik hari ini. Jadi, meski telat saya pun masih tetap melakukan dengan tetap berharap Allah memberi rahmatNya melalui malaikat yang masih menunggu hamba-hamba yang terlambat.
Setelah shalat subuh, diriku mencoba mengumpulkan semangat untuk melakukan banyak hal di akhir pekan. Duduk di sofa depan pintu, tempat dimana almarhum papa sering menghabiskan waktunya di siang hari. Mencoba menarik benang merah atas semua yang terjadi sejak pertama kali kaki ini kembali dijejakkan di Kota Makassar pasca kuliah di Kota Gudeg.
Orang yang selalu panik melihat diriku menghabiskan waktu di rumah, tak lain adalah papa. Papa setiap hari membelikan koran hanya untuk mencarikanku pekerjaan yang sesuai dengan jurusan kuliah yang ku enyam. Dapatlah satu pekerjaan sebagai pengajar di sebuah Lembaga Pendidikan Bilingual di bilangan Mesjid Raya. Belum cukup tiga bulan, saya mendapatkan promosi jabatan sebagai school manager, gaji yang lumayan dipastikan akan seimbang dengan tanggung jawab yang akan diemban. Bayangkan saja, saya yang belum terbiasa dengan dunia pendidikan, harus mampu memimpin 12 guru lainnya dan membuat silabus.
Semuanya terjadi pada akhir 2007 hingga 2008, tak lama memang. Ini lantaran, ada tawaran menarik untuk membuatku lebih dekat dengan dunia tulis menulis. Akhirnya kuputuskan meninggal zona nyaman dengan gaji yang membuai dunia. Memulai dari bawah sebagai penulis amatiran di sebuah tabloid yang baru saja dibentuk. Sedikit tak sesuai rencana, tabloid itu dibubarkan pasca tiga bulan. Papa hanya melihatku tak berdaya, Ia yakin keputusanku yang terkadang terlampau ajaib.
Tak sampai sebulan menikmati suasana rumah, saya mendapatkan pekerjaan sebagai repoter di sebuah tabloid internal milik TNI AD. Menyesuaikan diri dengan kebiasaan dilingkup militer tak semudah yang terpikirkan, tetapi semuanya membantu proses dunia literasi yang ingin kudalami. Suka tidak suka, harus suka untuk dijalani.
Dan di akhir 2010, tepatnya pada bulan Oktober saya bergabung di stasiun televisi swasta lokal pertama di Sulawesi Selatan. Dalam dunia inilah, proses bermetamorfosis diriku menjadi penulis ditempa dan diasah. Perjalanan tak semudah dibayangkan memang menjadi bayaran mutlak dari sebuah impian.

***
KULANGKAHKAN kakiku menuju teras, memandang langit yang selalu membuat hatiku lebih lapang dari sebelumnya. Langit merupakan tempat pelampiasanku atas semua takdir Allah, ketika takdirnya sedang menguji batas iman yang kumiliki, wajah langit pasti seakan tak bersahabat. Namun sebaliknya ketika takdir sedang menunjukan wajah senyumnya, maka langit memberiku ruang lebih luas untuk bersyukur. Langit tak harus menunduk ataupun menengadah untuk menunjukan dirinya ada pada dunia, itulah kenapa saya begitu mengagumi ciptaan Allah yang satu itu.

Jika hari ini saya berhasil, bukan karena takdir sedang berbaik hati, tetapi langit mencoba membayar janji yang tertunda. Membisikan satu fakta bahwa usaha apapun yang dilakukan dengan serius akan membawakan hasil diakhir perjalanannya. Maka sebelum melakukan apapun, yakin saja bahwa itu yang terbaik untuk dilakukan.   

Jumat, 22 Januari 2016

Tetap Melihat Hal “Positif” Dibalik Kata Penolakan

LANGIT tidak secerah kemarin saat kucoba membuka kaca jendela di ruang kerjaku di kantor. Semuanya tampak abu-abu, seabu-abu hatiku yang dipenuhi kegundahan atas proyek yang sudah lama dijalankan, tetapi hari ini harus kembali diulang dari awal. Haruskah marah atau cukup hanya kecewa? Mengambil sikap pun jadinya tak mampu kulakukan, tidak seperti biasanya.

**
PEMINDAHAN tanggung jawab suatu proyek biasanya dilakukan karena ada masalah yang tak bisa diselesaikan, namun beda halnya ketika proyek ini harus dipindah-tangankan ke saya. Masalah yang dihadapi si penanggung jawab pada awalnya hanyalah masalah pribadi yang berakhir pada berkurangnya kesehatan fisiknya, sehingga dianggap tak mampu untuk menyelesaikan proyek dengan maksimal.

Ketika diajak meeting untuk pertama kali, bekalku hanya satu yakni konsep jadi yang sudah dibuat dan dirapatkan dengan si penanggung jawab pertama. Sebenarnya banyak keuntungan yang bisa didapatkan, saat Anda menyelesaikan proyek yang sudah berjalan, salah satunya Anda tak harus berpikir untuk melahirkan sebuah konsep. Itu pikiran pintas yang coba kutanam untuk menyenangkan hatiku yang menolak dan tak ingin menjalankan proyek orang lain.

Bukan mencoba untuk mempertahankan keidealisan ketika harus dihadapkan dengan masalah seperti ini. Namun, menurut pengalaman saat menjalankan proyek dengan client, lebih enak jika konsep yang dipakai adalah konsep yang dibuat sendiri. Alasannya ide awal biasanya akan mempengaruhi Anda dalam memutuskan kebijakan terhadap client, dan alasan berikutnya alur konsep akan lebih matang dan Anda akan lebih mampu meyakinkan client.

Tetapi, semuanya harus dijalani layaknya hal yang biasa. Konsep jadi menjadi patokan untuk bisa menghasilkan sebuah iklan yang diinginkan oleh client. Sejumlah meeting  harus dijalani untuk memantapkan konsep tersebut, namun sayangnya hatiku masih tak bisa merasakan sensasi kepuasaan di setiap hasil pertemuan, hingga proses panjang pembuatan iklan itu sampai pada tahap akhir yakni pengeditan.

***
JIKA Anda ingin mempertahankan konsep ini silahkan, tetapi kalau saya bolehkah ada konsep yang lain?”

Pertanyaan singkat itu masih terus saja terputar di kepalaku, layaknya kaset rusak yang terus terulang dibagian yang sama. Hal inilah yang saya takutkan ketika menerima penugasan proyek ini untuk pertama kalinya. Pertanyaan itu bermuara pada kata dilema dan terus mengusikku hingga hari ini, dimana langit tak menampakan wajah cerianya.

Hasil meeting terakhir sebenarnya berawal dari sebuah telepon seorang perempuan terhadap marketing yang mendapatkan proyek. Perempuan itu yang tak lain adalah manager promosi di perusahaan yang menjadi client dalam pembuatan iklan ini. Dia meminta agar membantunya untuk keluar dari masalah.

Awalnya bingung, masalah apa yang bisa kami bantu, mengingat kami beda manajemen. Namun, ketika Ia menyebutkan masalah iklan, pantaslah itu juga menjadi masalah yang mengaitkan pihak kami.

Wanita ini, memang beberapa kali saya jumpai ketika rapat terkait pemilihan konsep, setelah konsep diputuskan, maka saya dan tim mulai mengeksekusi pembuatan iklan, mulai dari menghubungi talent, makeup artist hingga survey lokasi pengambilan gambar. Beberapa minggu kami bergelut dengan pengambilan gambar, selain masalah cuaca yang tak menentu, lokasi kedua yang ingin digunakan untuk shooting belum didapatkan oleh pihak clinet. Sampailah pada akhir pengambilan gambar dan masuk dapur editing. Semuanya masih berjalan sesuai rencana hingga tahap ini. Lantas dimana awal mula masalah itu lahir?

Ternyata selama ini, rapat yang kami lakukan guna pemilihan konsep mungkin tidak didiskusikan dengan si pemilik kebijakan tertinggi. Alhasil, si bos itu murka dan menganggap bahwa Ia tidak pernah mengeluarkan keputusan untuk memilih konsep iklan seperti yang kami buat. Bayangkan saja, kami telah menghabiskan waktu sekitar 2 (dua) bulan hanya untuk membuat konsep itu menjadi sesuatu yang dapat ditonton, dan akhirnya dimentahkan oleh sebuah kondisi yang tak mengenakkan dalam manajemen mereka.

Itulah awalnya, pihak marketing kantor kami yang coba bertindak bijak namun berujung malapetaka pada proses pembuatan iklan. Namun, ketika saya sebagai penanggungjawab konsep memperjuangan terkait talent yang terlibat dan bagaimana pembayarannya, justru dianggap hal yang mudah dan kecil untuk diselesaikan.

Bukankah ketika konsep berubah, maka talent yang dilibatkan juga akan berubah. Ataukah saya yang berpikir terlalu keras dalam situasi ini? Hingga langit kelabu pun membuatku tambah gelisah.

****
TIM kerja yang baik itu, harus dilandasi dengan komunikasi yang baik. Itu prinsip kerja yang saya tanamkan semenjak dipercaya untuk menjalankan beberapa proyek. Jadi hal pahit ini pun harus kusampaikan dengan berat hati kepada semua pihak yang terlibat.

Saya hanya bagian dari sebuah tim kerja, dan tim kerja menjadi bagian dari kesepakatan yang terikat “rupiah” yang harus dikeluarkan oleh client. Namun, terkadang ada sejumlah pihak terlalu mempermudah suatu hal, dimana seharusnya hal tersebut harus diselesaikan dengan diskusi dan duduk bersama. Tetapi, biasanya mereka bertindak hanya di atas permukaan air, hingga riaknya baru akan terasa ketika ada orang yang turun dan membicarakannya dengan tim kerja. Mereka juga tidak ingin tahu seberapa besar riak yang dihasilkan atas keputusan mereka, itulah cerminan kerja sama dalam sebuah organisasi yang dipayungi oleh badan hukum.

Konsep harus kembali dibuat, mungkin ada hal positif yang didapatkan ketika Anda mendapatkan penolakan. Setidaknya saya sadar, kerja dalam sebuah tim tidak semudah yang dibayangkan oleh sebagian orang, komunikasi yang baik belum tentu menghasilkan sesuatu seperti yang Anda bayangkan. Tetapi, tanpa komunikasi yang baik, tim kerja tidak akan bekerja secara maksimal.

Jika Anda memutuskan untuk bekerja dengan orang lain, secara otomatis Anda telah siap untuk menjadi bagian tim kerja yang baik. Masalah jabatan itu hanya sebatas tanggung jawab lebih yang diberikan oleh orang tersebut, tetapi pada dasarnya semua tanggung jawab dan kerja yang harus dilakukan setiap anggota tim itu sama. Jadilah anggota tim kerja yang baik, memberikan masukan dan mengerjakan sebuah proyek hingga selesai. Kadang-kadang perasaan dan tidak enak hati hanya akan membuat Anda berpikir negatif dan menghentikan langkah Anda.

Saya juga masih terus mencoba dan belajar menjadi anggota tim kerja yang baik, entah itu di kantor maupun di komunitas tempatku bernaung dan bertemu orang-orang muda yang hebat, dimana mereka telah siap mengambil bagian dari sebuah perubahan. Perubahaan atas dirinya, cara komunikasinya dan perubahan atas kerja kerasnya terhadap ibu-ibu dan anak-anak yang masuk dalam program kerja tahunannya.












Senin, 11 Januari 2016

Si Rani, Ternyata Tak Berani




BEBERAPA orang terlihat berlalu lalang di dalam ruangan yang berukuran 6x7 meter. Desain ruangan yang berdinding putih abu-abu itu, memang seperti rumah sakit. Namun, anggapanku segera terlunturkan dengan daftar absen ujian yang tertempel rapi di daun pintu.

**
Sejak pukul 06:30 Wita, saya dan dua orang teman dengan mengenakan baju yang sama sudah membelah jalan kota yang tak sepadat biasanya. Mungkin karena hari minggu, jadi jalan tak dipenuhi dengan anak sekolah dan angkot. Si ranger merah kuhentikan di parkiran salah satu toko alat-alat sekolah dan kantor terlengkap dan termurah di Kota Daeng. Hari ini, semuanya lengang, para pengunjung juga tidak saling desak, apalagi area parker yang biasanya tak mampu menampung kendaraan, kini hanya terdapat beberapa motor dan mobil yang parker sesukanya.
Kami mengambil keranjang dan mulai menjelajah mencari keperluan untuk kegiatan hari ini. Menurut estimasi, ada banyak anak-anak yang akan hadir dan meramaikan kegiatan komunitas Sahabat Indonesia Berbagi regional Makassar yang diberinama Project Berbagi kesebelas. Acara utamanya adalah menggelar sunatan massal untuk 100 orang anak. Sudah bisa dibayangkan akan seheboh apa kejadiannya nanti.
Setelah semua belanjaan sudah terbeli, kami kembali memacu kecepatan di jalan raya menuju lokasi sunatan massal akan digelar. Jalanan sudah mulai ramai, apalagi ketika melintasi tempat peribadatan umat Nasrani. Tampak, beberapa orang mengenakan busana yang rapi lengkap dengan riasan wajah. Begitu segar dan semangat melihat mereka melangkahkan kaki dengan mantap menuju gereja di seberang jalan. Lamunanku harus terusik, karena lampu lalu lintas sudah berubah warna, menandakan si ranger merah harus kembali membelah dan mengurai kemacetan di jalan Masjid Raya.

***
            Jam di handphoneku belum menunjukkan pukul 08:00 wita, namun sudah Nampak beberapa anak di halaman sebuah kampus yang sudah terlihat berumur. Di dalam ruangan, beberapa relawan sudah asyik dengan pekerjaan mereka masing-masing. Kuputuskan melangkah ke ruangan bagian dalam, tempat dimana pengeksekusian kelamin dilakukan.
            Sejumlah meja sudah ditata sedemikian rupa, dilapisi gabus tipis dan dibungkus plastik. Ada empat relawan yang sedang memasang kantong plastik sampah di setiap sudut meja yang sudah diberi nomor. Di sudut ruangan, ternyata sudah ada beberapa orang yang dari tim medis yang tergabung dalam komunitas Pacica, mereka sedang mempersiapkan sejumlah alat yang akan digunakan nanti.
            Dua orang berjalan membawa tempat-tempat yang berisikan jarum suntik dan impul-impul kecil obat bius. Mereka membuka membuka plastik pembungkus spoit jarum suntik, dan mulai mengisinya dengan obat bius yang akan disuntikan pada anak-anak, sebleum proses penyunatan berlangsung.
            Sunat menurut agamaku, merupakan proses wajib yang harus dijalani baik laki-laki maupun perempuan. Selain, sebagai tanda masuknya masa baligh, sunat juga merupakan penyempurna ke-Islam-an bagi seorang laki-laki. Prosesnya juga harus diawali dengan wudhu, mengucapkan dua kalimat syahadat dan pemotongan bagian yang bisa menyebabkan penyakit, jika dibiarkan.

***
            Urutan pertama sudah memasuki ruangan, wajah-wajah yang tadinya ceria berubah menjadi tegang dan pucat. Bukan karena suasana ruangannya yang mencekam, namun mereka membayangkan proses sunatnya yang menyakitkan. Teriakan demi teriakan terdengar memenuhi ruangan yang tadinya hanya diisi oleh candaan beberapa orang, membuat beberapa anak yang sedang menunggu menjadi panik. Bukan itu saja, anak di meja 5 pun memutuskan mundur dari medan laga.
Dia menangis dan memeluk tangan bapaknya, seakan meminta pertolongan. Tapi sayangnya, sang bapak justru bukan membujuknya untuk pulang ke rumah, tetapi menyuruhnya naik kembali ke atas meja yang disulap menjadi tempat tidur pasien dadakan.
“Betapa besar perjuangan seorang lelaki untuk menjadi sempurna,” benakku ketika melihat uraian air mata yang tumpah ruah dalam ruangan yang layaknya rumah sakit. Tetapi pikiran itu langsung ku tepis, ini lantaran banyak juga lelaki yang akhirnya menjadi penjahat kelamin tanpa pernah berpikir betapa sakitnya proses penyempurnaan alat kelaminnya.

****
            Ada yang menarik dari proses penyunatan yang dilakukan, meski masih diiringi dengan tangisan, namun yang membuatku takjub adalah tidak ada setetes darah pun yang berceceran di lantai. Tissue yang terletak di atas meja, hanya digunakan untuk mengeringkan keringat sang dokter atau membersihkan tangan.
            Baru saja logikaku terus mencari jawaban untuk proses sunat yang dilakukan, terdengar perbincangan relawan yang bertugas di meja pembagian hadiah di jalan keluar.
            “Ohh sistem sunat laser, begitu toh,” Ujar relawan yang mengenakan jilbab ungu. Entah siapa namanya.
            “Iya, laser itu digunakan untuk mempercepat proses sunat dan rasa sakitnya. Luka yang dihasilkan pun tidak berlumuran darah, seperti proses sunat yang konvensional. Intinya lebih mudah,” Jelas sang relawan yang sepertinya sudah terbiasanya melihat proses sunat ala laser.
            Baru saja terjawab kebingunganku, melintas seorang anak yang terus menangis dan merengek di samping ibunya yang seperti sedang emosi. Dalam pikiranku, anaknya sudah sunat dan meminta sesuatu pada sang ibu. Namun, dugaan itu kutepis tatkala mendengar ucapan ibunya.
            kauji yang mau, terus kenapa sampai disini, kau jadi tidak mau? Pulangka kalau menangis ko terus,” (Kamu yang mau, kenapa sampai di tempat sunat jadi tidak mau? Saya pulang kalau kamu menangis terus) gusar sang ibu melihat anaknya yang masih saja menangis.
            Kudekati dengan wajah cemas, alih-alih sang ibu akan memukul si anak. Mencoba membujuknya dengan segala cara, namun si anak tetap menangis dengan suara lantang. Si ibu menjadi tambah marah.

*****
             Baru ku tahu bahwa nama si anak itu, Rani. Dia sudah dianestesi, sebenarnya tinggal proses pemotongannya saja yang belum. Tapi, si Rani malah melompat setelah disuntik dua kali, karena mendengar tangisan anak di sebelahnya. Itulah asal muasal si ibu naik pitam.
            Padahal. Proses sunat tidak menghabiskan 15 menit per anak. Tetapi, karena Rani takut, akhirnya ibunya yang tadi datang dengan rombongan harus rela tinggal dan menunggu si anak sampai selesai disunat.
            Para dokter juga sudah memasuki waktu istirahat dan shalat, akhirnya penantian si Rani dan ibunya semakin lama. Jejak air mata masih sangat jelas dipipinya, gerakan jemari yang memainkan sarung yang terikat dipundaknya mengisi waktu menunggu.
            Ternyata, si Rani yang bertubuh kurus dan kulit matang sempurna oleh matahari merupakan anak yang berbakti pada orang tua. Ia rela bekerja diusianya yang masih belia, membantu perekonomian keluarga. Untuk makan dan sekolah pun Ia harus bekerja, jadi tidak ada cukup dana untuk sekedar disisikan guna keperluan sunatnya. Itulah yang membuat hati sang ibu menjadi geram melihat anak lelakinya yang terkenal pemberani, menjadi bernyali ciut ketika berhadapan dengan jarum suntik.
            Setelah waktu istirahat tim medis usai, ibunya kembali membujuk Rani untuk sunat. Air mata yang tadinya kering, kini kembali membasahi kedua pipinya. Namun, karena takut dengan ancaman ibunya, Rani yang ternyata tak seberani jiwa perjuangan hidupnya, akhirnya pasrah dan naik di meja. Dokter kembali menyuntiknya, dan melakukan proses sunatan dengan tetap tersenyum meski telinganya berdenging mendengar jeritan tangis si Rani kecil.
            Ketika dokter berkata selesai, seketika senyum terlukis di wajah si Rani. Sepertinya dia hanya takut mendengarkan teriakan anak yang berada di meja sebelah, buktinya sekarang dia tersenyum seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Sunatan Massal bukan hanya kegiatan bakti sosial, tetapi perwujudan nyata manusia memanusiakan manusia.  

Senin, 10 Agustus 2015

Hidup Bersahaja Di Rammang-rammang


Oleh: Indah A. Febriany

            Hijau,
            Gemericik,
            Helaan nafas alam terdengar layaknya orkestra megah,        
            Ombak kecil sesekali merayu penumpang kapal tuk tak memalingkan wajah,          
            Suasana tenang membius batin,
            Hamparan karst menyambut setiap orang dengan tangan terbuka,
            Gugusan kecil batu karang menjadi penunjuk jalan,
            Lorong-lorong karst seakan ingin memeluk erat setiap pengunjung.

            Menghabiskan malam di Rammang-rammang menjadi pengalaman pertama bagiku, setelah beberapa tahun lebih nyaman berdiam diri dalam kehangatan rumah. Kasur yang embuk serta suhu yang terjaga, sedikit harus ditinggalkan ketika Anda memutuskan untuk bermalam di daerah yang namanya memiliki arti “kabut.”
            Daerah yang baru terjamah sekitar awal 2000-an ini terletak di Desa Salenrang, kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Meski sudah satu dekade lebih Rammang-rammang dijadikan objek wisata, namun urusan akomodasi masih terbilang agak sulit, apalagi bagi para pelancong yang datang dari luar kota. Kecuali, jika nantinya pemerintah daerah Maros menyediakan mobil wisata yang akan mengantar pengunjung hingga ke dermaga Rammang-rammang.

            Ketika sampai di dermaga, rasa khawatir sedikit berkurang. Ini lantaran, perahu wisata milik warga sudah siap mengantarkan setiap pengunjung. Namun, ketika Anda memilih untuk jalur darat juga bisa, tetapi harus sabar menembuh perjalanan kurang lebih 2 jam perjalanan jika Anda berangkat dari kota Makassar.
            Bayangan kabut atau awan tipis seketika menggodaku ketika mata menangkap pegunungan karst yang terhampar sejauh mata memandang. Aliran sungai Pute yang sedikit keru, mengayun lembut perahu yang dijalankan menggunakan bantuan mesin. Tetapi, sesekali mesin perahu harus dimatikan, apalagi ketika di wilayah yang cukup sempit dan perahu yang saya tumpangi berpapasan dengan perahu yang lain.
            Betapa ahli para pemilik perahu, ketika harus berbelok diantara karang yang tersusun tak beraturan. Ibarat sirkuit laga yang mengharuskan si pemilik kendaraan meliak-liuk menghindari karang. Perjalanan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, apalagi berada di tengah pohon nipah dan pohon bakau khas sungai yang berair payau. Apalagi, model setiap batuan karst yang unik menambah keeksotisan tempat yang masih jarang dijamah oleh para pelancong lokal dan mancanegara. Padahal, taman hutan batu kapur di wilayah Maros-Pangkep ini, satu-satunya di Indonesia. Bukan hanya itu, Rammang-rammang juga tercatat sebagai pegunungan batu kabur terbesar ketiga di dunia, setelah taman hutan batu Tsingy di Madagaskar dan taman hutan batu Shilin yang berada di Tiongkok.   
Seketika udara menjadi agak sedikit pengap ketika perahu melintas lebih dekat dengan kawasan pegunungan karst. Tetapi, pengapnya hilang terganti takjub yang tak terkira. Ibarat masuk dalam lorong waktu yang sedikit diterangi cahaya persis berada di atas kepala. Relief permukaan batu karst begitu menggoda untuk diamati.

            Panas yang menyengat ketika perahu kami merapat di ujung dermaga, lebih tepatnya bisa dikatakan daratan yang sangat dekat dengan bebatuan karst. Welcome to dermaga kampong Berua. Menyenangkan! Bisa Anda bayangkan bukan, apalagi yang akan dijumpai ketika Anda berada di Kampung Berua.
            Beberapa orang terlihat sudah mendirikan tenda ketika kami sampai. Saya hanya mampu duduk termangu menatap pegunungan karst yang tinggi menjulang, sembari menarik nafas menghirup segarnya udara yang masih tak terjamah oleh polusi.
            Keramahan penduduk menyambut setiap orang pun begitu menyentuh, senyum kegembiraan mereka. Mungkin saja karena Rammang-rammang jarang dikunjungi tamu yang begitu banyak. Ditambah lagi petinggi Sulsel akan bertandan membuka sebuah event bergengsi bertajuk “Fullmoon Festival.”


            Keramahan penduduk di Rammang-rammang begitu bersahaja. Senyum tulus mereka menandakan keluguan yang merindukan sapaan lebih banyak pengunjung. Ibarat ruang tamu, Rammang-rammang jarang digunakan untuk menjamu. Hanya dibiarkan membisu dengan keindahan yang tersembunyi diantara pegunungan batu karst. Sejumlah objek wisata lainnya juga akan membuat Anda semakin kagum, seperti telaga bidadari, gua bulu’ barakka’, ada juga gua telapak tangan, dan gua pasaung.
            Taman Hutan Batu Rammang-rammang menunggu lebih banyak orang untuk berkunjung. Senyum Anda harapan baik bagi para penduduk untuk memperbaiki perekonomian rakyat mereka. Pastikan destinasi akhir pecan Anda dan keluarga ke Rammang-rammang.